Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengucap
بسم الله الرحمن الرحيم،
اِلَهِى اَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَرِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ
(“Wahai Tuhanku, Engkaulah tujuanku dan Ridhamu yang kucari”)
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Tulisan ini akan mengawali gagasan penulis di blog ini. Tentunya dibantu gagasan orang lain, para pendahulu, ilmuwan, filsuf, dan yang lainnya. Tujuan utamanya adalah berusaha mengenalkan Filsafat, urgensinya berpikir kritis dan logis ke masyarakat umum. Paling minimal bisa menyadarkan kembali jiwa-jiwa manusia yang mulai melupakan hakikat dirinya sebagai makhluk yang dibekali akal oleh Tuhan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Tulisan-tulisan di blog ini akan berusaha dibuat seringan mungkin, mengurangi penggunaan bahasa-bahasa akademik, ilmiah --Padahal boleh jadi memang tidak mampu, hehe--, atau terlalu njelimet agar mudah dicerna oleh masyarakat umum.
Baiklah, kita tidak perlu membuang waktu terlalu lama, langsung saja masuk ke pembahasan tema ini.
Pembaca yang budiman pasti sudah tidak asing dengan kata "Manusia" Apa itu manusia? Sekilas tampaknya sangat sederhana bagi pembaca untuk menjawab itu, bahkan mungkin terlihat konyol jika pertanyaan sesederhana itu dilontarkan. Barangkali diantara pembaca akan menjawab "Ya kita-kita ini lah manusia, yang bukan hewan, jin, setan, dll." Tapi sebenarnya pertanyaan itu dapat mengacu kepada dua jawaban. 1. Manusia sebagai arti kata dalam bahasa 2. Manusia sebagai hakikat dirinya yang dibedakan dari selainnya. Untuk nomor satu Secara etimologi, kata “manusia” berasal dari bahasa Sansekerta yakni dari kata “manu” , dan bahasa Latin yakni “mens” yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi. Ini merupakan jawaban apabila seseorang belum mengetahui makna dari kata tersebut. Misalnya saja bule yang datang ke Indonesia dan mendengar kata "Manusia", lalu dia bertanya what is "Manusia"? is that the name of food? Tentu saja yang dia tanyakan arti dari kata tersebut. Untuk jawaban nomor dua biasanya lebih sulit, sebab untuk mengetahui sesuatu seseorang perlu membuat definisi dengan mencari tahu genus (Konsep universal yang dengan apa sesuatu itu dikelompokan) dan diferensia (Konsep universal yang dalam kelompok itu sesuatu dibedakan). Ah persetan lah dengan istilah-istilah itu. Sebagai contoh saja, manusia masuk dalam kategori hewan-hewan: Harimau, Gajah, Kuda, dll. Ya kita sama dari banyak hal dengan spesies-spesies itu, bisa bergerak dengan kehendak, makan, having sex, tidur, marah, dll. Tapi yang membedakan manusia dengan Harimau, Gajah, dan hewan lain itu apa? Berpikir! Jadi manusia termasuk dalam genus hewan, sedangkan diferensianya adalah berpikir. Ini hanya contoh, kenyataannya kita tak mudah menjawab pertanyaan apa itu untuk semua kasus. Misalnya apa itu alam, apa itu planet, apa hakikat realitas ini, apa hakikat benda-benda ini, apa arti hidup, apa itu COVID-19? dll. Yang mana itu menjadi tugas para Ilmuwan atau Filsuf.
Sekarang kita fokus ke manusia, yang sudah kita ketahui dan sepakati sebagai hewan berpikir. Saya yakin para pembaca juga pasti sudah tau. Tidak apa-apa, memang blog ini dibuat bukan untuk memberitahu Anda hal-hal baru, mengajari, atau bahkan menggurui. Tapi untuk menyadarkan, membangunkan dan mengingatkan kembali hakikat diri kita sebagai makhluk yang berpikir. Para Filsuf Islam menyebutnya Hayawanun Na>thiq. Permasalahannya masih banyak manusia-manusia yang malas berpikir dan dalam aktifitasnya hampir mirip dengan kera, babi, ular, dsb yang makan, tidur, buang hajat, melakukan hubungan sex, dan berputar dalam siklus tersebut. Sedikit sekali mereka berpikir bahkan mungkin tidak pernah berpikir dalam hidupnya. Lebih parahnya lagi manusia bisa dikatakan lebih buruk dari binatang. Bahkan Alquran menyindir manusia, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ
Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk (masuk neraka) Jahanam (karena kesesatan mereka). Mereka memiliki hati yang tidak mereka pergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan memiliki mata yang tidak mereka pergunakan untuk melihat (ayat-ayat Allah), serta memiliki telinga yang tidak mereka pergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.
(Al-A‘rāf [7]:179)
Tentu kita punya mata, telinga, hati namun akal lah yang mengendalikan semuanya, mustahil mereka bergerak sendiri tanpa kendali. Kita mengarahkan mata kepada keburukan atau kebaikan karena kita memiliki pikiran untuk menimbang dan memutuskan, begitu juga alat-alat yang lain. Manusia bisa memutuskan untuk menerkam sesamanya atau mengasihinya, harimau tidak bisa, saat mereka marah siapa saja jadi sasaran. Itu lah keadaan saat akal pikiran tidak digunakan untuk mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan buruk atau jahat. Malah sebenarnya saat itu dia tidak menggunakan pikirannya dengan benar. Masih lebih baik binatang, sebuas-buasnya mereka tak punya pikiran, tapi manusia yang buas itu luar biasa hehe. Masih banyak manusia yang hidupnya hanya lahir, sekolah, kerja, nikah, dan mati tanpa benar-benar berpikir sebagai manusia.
Ngomong-ngomong soal pikiran, seberapa yakinkah kita dengan pikiran kita? Yakin artinya kita tau batasan dan tau ukuran benar atau salahnya. Apakah pikiran seseorang itu mutlak berbeda satu sama lain? Atau bisa untuk diterima dan diyakini bersama? Kalau iya, dengan apa kita mengukur atau menentukannya? Penulis masih sering melihat dalam diskusi atau obrolan orang mengatakan "Ini sih pendapat gue, semua orang berhak berpendapat dan punya pendapatnya masing-masing" Iya sih kalau soal hak gak ada yang larang, tapi kalau udah begitu yang ngomong biasanya gak mau mikir dan melihat pendapat mana yang benar, jadi seolah pendapat itu berbeda begitu saja tanpa ada ukuran benar atau salah. Kalau sudah begitu, apa mau dikata. Barangkali kita perlu mundur ke zaman Yunani Kuno untuk mengambil pelajaran. Dahulu kala ada sekelompok orang yang mengklaim diri sebagai Sophist (Cendekiawan, orang terpelajar, orang bijaksana) mereka meyakini bahwa ukuran benar salah itu tidak ada, jadi benar salah ditentukan oleh siapa yang berbicara. Bukan ukuran yang bisa diterima bersama oleh manusia. Kaum Sophist pada dasarnya orang-orang yang pintar beretorika dan fasih berbicara. Mereka sengaja membela orang-orang di depan hukum dengan menjual kepintarannya, tak peduli siapa benar siapa salah yang penting dapat uang. Mereka mengelabui orang-orang dengan melakukan penyesatan pikiran demi cuan dan ngetren. Yaaaah mungkin merekalah yang menginspirasi sebagian besar pengacara dan penerima suap di pengadilan.
Namun popularitas kaum sophis tak bertahan selamanya karena kehadiran penentang bernama Socrates orang yang hidup sezaman dengan mereka yang karena kerendah hatiannya tidak ingin disebut sophis walau kata itu dulu mulia dan terhormat, boleh jadi ia tak ingin disejajarkan dengan mereka. Socrates membongkar kesesatan pikiran-pikiran mereka dengan pikiran berbasis akal sehat dan kebenaran yang sesuai fitrah manusia yaitu logika. Inilah yang selanjutnya oleh Aristoteles (Muridnya murid Socrates bernama Plato) rumuskan sebagai sistem berpikir manusia.
Sebenarnya menurut hemat penulis Aristoteles tidak menemukan sesuatu yang baru, karena logika itu memang sudah tertanam dalam pikiran manusia, menjadi sistem berpikir benar yang memang sudah dilekatkan sebagai identitas manusia oleh Tuhan. Sebagaimana pembuat mobil BMW yang menciptakan mobil itu dengan kecepatan, cara operasi dan seluruh sistem yang ada di dalamnya. Aristoteles hanya merumuskan, menunjukan dan atau mengingatkan kepada kita agar tetap berpikir logis sesuai fitrah manusia dan bahwasanya begitulah kita berpikir. Contoh dari berpikir logis adalah saat kita meyakini dalam pikiran bahwa "Manusia akan mati," lalu mengidentifikasi "Aristoteles adalah manusia," maka secara logis pikiran yang sehat akan menyimpulkan "Aristoteles akan mati." Atau saat kita meyakini puasa itu dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, tentu pikiran kita otomatis akan menyimpulkan bolehnya makan minum di malam hari. Nah pikiran logis ini tidak bisa dibantah, tidak bisa dikatakan itu kan menurut kamu, bukan menurutku. Inilah ukuran kebenaran berpikir, bukan asal berbeda pendapat.
Lalu apa urgensinya berpikir logis untuk manusia? Banyak sekali, salah satunya meminimalisir atau bahkan menghindari penipuan, memfilter berita hoax, mengetahui informasi dengan valid, membersihkan sampah-sampah informasi salah di otak, dan tentunya meyakini sesuatu dengan jelas, tanpa dogma atau kata orang. Sebelum berpikir logis, tahap awal sekali untuk melatihnya adalah dengan berpikir kritis, caranya tidak mudah percaya dengan informasi yang kita terima atau yang orang lain sodorkan kepada kita, terus mempertanyakan dan menimbangnya di pikiran kita. Dewasa ini orang-orang gampang sekali percaya sama orang lain, informasi palsu, dan malas berpikir kritis. Padahal pikiran kita menentukan keputusan hidup kita, keputusan hidup seringkali melahirkan kerugian dan derita akibat malas berpikir.
Jangan lupa berpikir ya, tentunya yang logis. Keep focus and stay logical. I hope you enjoy your Ramadan fast.
Комментарии